Reformasi pendidikan memiliki bentuk konkret pada dimensi individu (guru dan siswa), dimensi sekolah, dimensi masyarakat atau makro. SEKOLAH MANDIRI salah satu bentuk konkret dari reformasi pendidikan pada dimensi sekolah. Yakni, suatu kebijakan yang menempatkan pengambilan keputusan pada mereka yang terlibat langsung pada proses pendidikan: Kepala Sekolah, guru, orang tua siswa dan masyarakat. Kebijakan ini akan membawa dampak tidak saja pada manajemen sekolah, tetapi juga pada implementasi kurikulum dan proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Sebab, tanpa ada perubahan pada proses belajar mengajar, apapun yang dilaksanakan di sekolah tidak akan banyak artinya. Perubahan tidak akan banyak artinya tanpa melibatkan aparat sekolah secara keseluruhan.
Monday, August 5, 2013
REFORMASI PENDIDIKAN DI INDONESIA
Published :
11:54 PM
Author :
NURIL ANWAR
Krisis yang dialami bangsa Indonesia baik ekonomi, politik
dan keamanan belum juga dapat di atasi. Berbagai krisis tersebut di atas
berdampak negatif terhadap dunia pendidikan dengan memunculkan keseimbangan
baru pendidikan. Pada keseimbangan baru ini, pelayanan pendidikan tidak dapat
dilaksanakan dengan menggunakan cara seperti biasa (bussines as ussual). Orientasi pelayanan pendidikan
dengan menggunakan cara berfikir lama tidak dapat diterapkan dengan begitu saja,
dan bahkan mungkin tidak dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan
pendidikan pada keseimbangan baru ini. Cara-cara berpikir baru dan
terobosan-terobosan baru harus diperkenalkan dan diciptakan untuk mengatasi
permasalahan pendidikan pada saat ini dan di masa mendatang. Dengan kata lain,
reformasi pendidikan merupakan suatu imperative action.
Reformasi pendidikan adalah proses
yang kompleks, berwajah majemuk dan memiliki jalinan tali-temali yang amat
interaktif, sehingga reformasi pendidikan memerlukan pengerahan segenap potensi
yang ada dan dalam tempo yang panjang. Betapa kompleksnya reformasi pendidikan
dapat difahami karena tempo yang diperlukan amat panjang, jauh lebih panjang
apabila dibandingkan tempo yang diperlukan untuk melakukan reformasi ekonomi,
apalagi dibandingkan tempo yang diperlukan untuk reformasi politik. Seminar reformasi di Jerman Timur yang
diselenggarakan sehabis tembok Berlin diruntuhkan mencatat bahwa untuk
reformasi politik diperlukan waktu cukup enam bulan. Untuk reformasi ekonomi
diperlukan waktu enam tahun, dan untuk reformasi pendidikan diperlukan waktu
enam puluh tahun. Sungguhpun demikian, hasil dan produk setiap fase atau
periode tertentu dari reformasi pendidikan harus dapat dipertanggung jawabkan.
Di samping itu, yang lebih penting adalah reformasi pendidikan harus memberikan
peluang (room for manoeuvre) bagi siapapun yang aktif dalam pendidikan untuk
mengembangkan langkah-langkah baru yang memungkinkan peningkatan mutu
pendidikan.
Reformasi pendidikan pada dasarnya
memiliki tujuan agar pendidikan dapat berjalan lebih etektif dan efisien
mencapai tujuan pendidikan nasional. Untuk itu dalam reformasi dua hal yang
perlu dilakukan: a) mengidentifikasi atas berbagai problem yang menghambat
terlaksananya pendidikan, dan, b) merumuskan reformasi yang bersifat strategik
dan praktis sehingga dapat diimplementasikan di lapangan. Oleh karena itu,
kondisi yang diperlukan dan program aksi yang harus diciptakan merupakan titik
sentral yang perlu diperhatikan dalam setiap reformasi pendidikan. Dengan kata
lain, reformasi pendidikan harus mendasarkan pada realitas sekolah yang ada,
bukan mendasarkan pada etalase atau jargon-jargon pendidikan semata. Reformasi
hendaknya didasarkan fakta dan hasil penelitian yang memadai dan valid, sehingga
dapat dikembangkan program reformasi yang utuh, jelas dan realistis.
Apa syarat utama yang harus dipenuhi
untuk dapat mencapai tujuan reformasi yang memadai? Terdapat tuntutan yang
merupakan keharusan untuk dipenuhi agar reformasi dapat berjalan mencapai
tujuan. Meskipun demikian, tidak ada senjata pamungkas yang dapat memastikan
keberhasilan reformasi. Pendekatan sistemik mengisyaratkan agar dalam reformasi
tidak ada faktor yang tertinggal. Reformasi harus menekankan pada faktor kunci
yang akan mempengaruhi faktor-faktor lain secara simultan, sehingga
reformasi akan melibatkan seluruh faktor 'yang penting, dan menempatkan semua
faktor tersebut dalam suatu sistem yang bersifat organik.
Implementasi reformasi pendidikan
yang berada di antara kebijakan publik dan kebijakan yang mendasarkan pada
mekanisme pasar tersebut, memusatkan pada empat dimensi: Dimensi
Kultural-Fondasional, dimensi Politik-Kebijakan, dimensi Teknis-Operasional,
dan dimensi Kontekstual.
A. Dimensi fondasional kultural
Dimensi kultural berkaitan dengan nilai, keyakinan dan norma-norma
berkaitan dengan pendidikan, seperti apa sekolah itu?, siapa guru itu? Seberapa
jauh materi yang harus dipelajari oleh siswa? dan, siapa siswa itu? Siapa yang
memiliki kekuasaan untuk mengontrol sekolah? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
tersebut akan menentukan gambaran fungsi dan tanggung jawab serta peranan
komponen sekolah: kepala sekolah, guru, pegawai administrasi, siswa, bahkan
orang tua siswa.
Secara
khusus, reformasi pendidikan ditunjukkan oleh perilaku dan peran baru siswa
khususnya dalam proses belajar dan mengajar di sekolah. Perubahan pada diri
siswa tersebut sebagai hasil adanya perubahan perilaku pada diri guru dalam
melaksanakan proses belajar mengajar khususnya, dan perubahan iklim sekolah
pada umumnya.
Perubahan perilaku guru merupakan
perubahan pada aspek teknis yang dapat disebabkan oleh aspek politik. Namun,
reformasi pendidikan tidak dan lebih dari sekedar dimensi teknis dan politik,
melainkan harus meletakkan dimensi kultural dalam proses reformasi. Sayangnya,
aspek kultural merupakan sesuatu yang bersifat relatif abstrak sekaligus sulit
untuk dikendalikan. Aspek kultural dapat dibangun dan dikembangkan berdasarkan
nilai-nilai dan keyakinan yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri.
Nilai-nilai dan keyakinan ini merupakan inti dari reformasi pendidikan.
Berkaitan dengan dimensi kultural
ini, sekolah harus diperlakukan sebagai suatu institusi yang memiliki otonomi
dan kehidupan (organik), bukan sekedar institusi yang merupakan bagian dari
suatu sistem yang besar (mekanik). Sebagai suatu sistem organik, sekolah dapat
dilihat sebagai tubuh manusia yang memiliki sifat kompleks dan terbuka yang
harus didekati dengan sistem thinking. Artinya, dalam pengelolaannya
sekolah harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh. Perbaikan dalam suatu
aspek sekolah harus mempertimbangkan aspek yang lain. Dengan pendekatan sistem thinking tersebut dapat diidentifikasi
struktur, umpan balik, dan dampak, seperti: a) keterbatasan perubahan pendidikan,
b) pergeseran sasaran reformasi pendidikan, c) perkembangan pendidikan, dan, d)
sektor pendidikan yang kurang dijamah.
B. Dimensi politik-kebijakan
Dimensi politik berkaitan dengan
otoritas, kekuasaan dan pengaruh, termasuk di dalamnya negosiasi untuk
memecahkan konflik-konflik dan isu-isu pendidikan. Aspek politik dari reformasi
pendidikan amat kompleks. Reformasi memiliki wajah plural yang satu sama lain
saling berinteraksi. Keberhasilan dalam mengendalikan aspek politik ini
ditunjukkan dengan adanya berbagai kebijakan tetapi satu kebijakan dengan yang
lain saling melengkapi, menuju arah tunggal: meningkatkan kemajuan pendidikan.
Juga, ditunjukkan oleh adanya serangkaian kebijakan di mana kebijakan yang
kemudian melengkapi kebijakan sebelumnya.
Dimensi politik ini tidak sekedar
adanya hak-hak politik warga sekolah, khususnya guru dan kepala sekolah, tetapi
memiliki pengertian yang lebih luas. Yakni, penekanan pada adanya kebebasan
atau otonomi sekolah, khususnya dalam kaitan dengan masyarakat sekitarnya.
Dengan otonomi yang dimiliki sekolah, keberadaan sekolah akan merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari masyarakat sekitararnya. Sekolah tidak terlalu
menggantungkan pada birokrasi di atas, tetapi sebaliknya sekolah lebih bertumpu
pada kekuatan masyarakat sekitar. Untuk itu, keberadaan Pemimpin Lokal di
samping kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan kunci dari keberhasilan sekolah.
Pemimpin Lokal, tokoh masyarakat dan
Kepala Sekolah harus senantiasa memberdayakan (empowering) guru, antara lain
dengan tidak banyak memberikan instruksi atau petunjuk melainkan memberikan
tantangan, insentif dan penghargaan dalam melaksanakan misi sekolah.
Keberhasilan reformasi pendidikan ditentukan oleh keberhasilan dalam
memberdayakan guru. Yakni, guru memiliki otonomi profesional dan kekuasaan
untuk menentukan bagaimana visi dan misi sekolah harus diujudkan dalam praktek
sehari-hari. Pemberdayaan guru ini akan memungkinkan mereka memadukan apa yang
mereka yakini dengan agenda aksi reformasi.
Sekolah yang baik senantiasa memiliki
visi dan misi. Visi dan misi sekolah harus difahami oleh semua guru dan
merupakan landasan kerja bersama yang diharapkan dapat memberikan kekuatan
dalam melaksankan misi di atas Dengan demikian di sekolah akan dapat dibangun suatu
iklim kerjasama di antara warga sekolah, khususnya di kalangan guru. Kerjasama
di antara guru ini akan memperkuat proses pemberdayaan guru.
Pemberdayaan guru perlu dilakukan
pula lewat pemberian kesempatan dan dorongan bagi para guru untuk selalu belajar
menambah ilmu. Proses pembelajaran sepanjang waktu bagi guru merupakan
keharusan, dan menjadi titik pusat dalam reformasi pendidikan. Proses
pembelajaran (learning) terjadi manakala guru memiliki
kewenangan dan kesempatan untuk mengembangkan visi mereka sendiri tentang
bagaimana perubahan yang diperlukan dalam mewujudkan pendidikan yang lebih
baik.
C. Dimensi teknis operasional
Dimensi teknis berkaitan dengan
pengetahuan dan kemampuan profesional dan bagaimana keduanya dapat dikuasai
oleh pendidik. Dengan kata lain, aspek teknis dipusatkan pada kemauan dan
kemampuan guru untuk melakukan reformasi pada dimensi kelas atau melaksanakan
proses belajar mengajar sebagaimana dituntut oleh reformasi. Sudah barang tentu
hal ini menuntut adanya perubahan perilaku baik siswa, kepala sekolah dan juga
di lingkungan kantor pendidikan selaku fihak yang memiliki wewenang untuk.
merumuskan kebijakan pendidikan.
Kemampuan guru yang dituntut dalam
setiap reformasi pendidikan pada umumnya adalah kemampuan penguasaan materi
kurikulum dan kemampuan paedagogik. Orientasi kurikulum harus lebih
menitikberatkan pada penguasaan akan konsep-konsep pokok, dan lebih menekankan
berbagai hubungan antar konsep-konsep tersebut, serta lebih menekankan pada
cara bagaimana peserta didik menguasai konsep dan hubungan untuk dikaitkan
dengan realitas kehidupan masyarakat dibandingkan hanya menguasai
serpihan-serpihan pengetahuan dan kumpulan fakta.
Di samping kurikulum harus
disempurnakan, guru harus memahami dan memiliki motivasi untuk mempergunakan
pendekatan dan cara mengajar yang lebih alami, asli dan menarik. Untuk itu
perlu dikembangkan tim kerja yang melibatkan guru dan ahli. Misal lewat MGMP seminar,
pelatihan dan lewat media cetak dan elektronik. Tujuan dari itu semua adalah
meningkakan komunikasi akademik baik di kalangan guru sendiri maupun dengan
kalangan luar sekolah. Dengan komunikasi ini diharapkan secara berkesinambungan
para guru akan mengembangkan kemampuan dan pengetahuannya sendiri.
D. Dimensi kontekstual
Pendidikan tidak berproses dalam
suasana vakum dan tertutup, namun terbuka, senantiasa berinteraksi dengan
aspek-aspek lain yang berada di luar pendidikan. Aspek-aspek lain tersebut
dapat memiliki dampak positif maupun negatif bagi pendidikan. Aspek-aspek
tersebut antara lain: a) kepedulian masyarakat terhadap pendidikan, b)
perkembangan media massa, dan c) sistem politik pemerintahan.
Keberhasilan reformasi pendidikan
juga ditentukan oleh seberapa besar dukungan masyarakat. Warga masyarakat,
khususnya mereka orang tua siswa yang memiliki kelebihan dalam harta dan
pendidikan perlu dilibatkan dalam proses reformasi sejak awal. Dukungan
masyarakat pada umumnya, dan orang tua siswa khususnya tidak sebatas dukungan
finansial, tetapi jauh lebih luas. Termasuk antara lain dukungan orang tua
siswa. dalam bentuk partisipasi untuk meningkatkan proses pembelajaran.
Untuk itu, orang tua siswa khususnya
dan tokoh-tokoh masyarakat pada umumnya, perlu diajak memahami visi dan misi
sekolah, dan mengambil peran dalam melaksanakan misi sekolah sesuai dengan
keyakinan dan kemampuan mereka sendiri.
Empat aspek di atas:
Kultural-Fondasional, Politik-Kebijakan, Teknis-Operasional dan dimensi kontekstual dapat
disilangkan dengan empat fokus: a) kondisi riil masa kini, b) hakekat reformasi
atau reformasi yang ingin dicapai, c) penghambat untuk terlaksananya reformasi,
dan d) program aksi yang perlu dikembangkan untuk muwujudkan tujuan reformasi, dapat
diujudkan dalam matriks analisis reformasi sebagai berikut
Jadi Dari Aspek Teknis Reformasi Pendidikan pengajaran one way direction dan tidak dapat merangsang
peserta didik belajar keras. Daya serap siswa atas kurikulum sangat rendah.
Karena itu dituntut adanya dapat peningkatan
kemampuan dan kreatifitas guru, mengembangkan sistem komunikasi professional di
kalangan guru sehingga menjadi “a Learning Teacher”.Mengembangkan
kurikulum yang menekankan pada konsep pokok dan keterkaitan di antara konsep
tersebut yang terintegrasi ke dalam satuan yang bersifat utuh dan fleksibel.
Mengembangkan norma baru tentang peran dan perilaku baru siswa dalam
pembelajaran, mengembangkan dan membiasakan sistem kolaborasi dalam proses
pembelajaran.
Faktor penghambatnya
adalah Kualitas dan kemampuan guru kurang siap untuk melaksanakan PBM yang
lebih bermakna (kolaborasi, constrctivist). Kurikulum sarat materi. Penguasaan kurikulum
oleh guru belum sebagaimana di harapkan. Siswa terbiasa belajar dengan mendengar,
menghafal, dan mengerjakan ujian dengan pilihan ganda.
Resistensi
di kalangan guru untuk melaksanakan feformasi.
Solusinya
adalah guru harus Meningkatkan sistemIn service Trainingyang lebih
komprehensif.
Memperbanyak
forum bagi guru untuk eningkatkan kemampuan profesional, seperti seminar,
penerbitan majalah/Jurnal Guru secara berkala, sehingga tidak ketinggalan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan.
Membekali
para guru dengan kemapuan
Dari aspek politik Reformasi
Pendidikan tampak dengan adanya manajemen sentralistis birokratis .
Kepala
Sekolah terbiasa bergantung keatas.Inovasi pada dimensi sekolah amat rendah.
Karerna itu dituntut adanya penciptaan sistem persekolahan dimana masing-masing
sekolah memiliki otonomi yang luas dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
Mengembangkan kepemimpinan Kepala Sekolah dengan sifat-sifat inovatif.
Mendorong Kepala Sekolah untuk senentiasa berupaya memberdayakan
guru.Menjadikan Fungsi pokok Departemen Pendidikan, Kanwil dan Kandep lebih
menekankan sebagai pendukung dan pelayanan kebutuhan sekolah untuk mencapai
program nasional. Namun bila di lapangan terjadi dengan Tidak adanya konsesus
yang jelas dan terbuka berkenaan dengan arah dan tujuan reformasi pendidikan di
kalangan luas masyarakat. Pola kepemimpinanpaternalistik. maka dituntut adanya
pihak yang mampu Memberikan kewenangan yang luas bagi Kepala Sekolah dalam
menjalankan program nasional sesuai sekolah masing-masing. Seperti, merumuskan
visi dan missi sekolah, mengelola sumber-sumber, dan menentukan sasaran dan
target sekolah.
Dari segi cultural
dan fakta di lapangan dengan adanya kreatifitas dan inisiatif rendah.
Kepemimpinan
kepala sekolah gaya komando. Kultur sekolah tidak kondusif untuk mencapai
prestasi (sasaran persaingan, kurang kerjasama, tidak terbuka, guru terlalu
aktif, siswa kurang disiplin dan belajar keras, maka harus mampu Mengembangkan
norma baru tentang peran dan perilaku. Mengembangkan dan membiasakan sistem
kolaborasi dalam proses pembelajaran.
Faktor penghambatnya adalah Fokus sekolah yang terlalu menekankan NEM, dan mengabaikan
aspek yang lain. Dalam hal ini
diperlukan adanya kemampuan untuk Mengembangkan sistem insentif danrewards bagi upaya-upaya inovatif.
Mengembangkan sistem penghargaan atas keberhasilan guru dan siswa yang tidak
saja di bidang prestasi intelektual tetapi juga pada bidang-bidang yang lain.
Mengembangkan suasana kebersamaan di samping suasana kompetitif di sekolah.
Sedangkan dari Aspek Kontekstual terlihat adanya kondisi Terpisah
dari masyarakatnya. Dukungan masyarakat rendah. Faktor negatif lingkungan amat
besar (TV, Film, dll), sehingga diperlukan kemampuan untuk Mengembangkan iklim hubungan sekolah dan
masyarakat yang kuat, sehingga sekolah memiliki basis dan menyatu dengan
masyarakat sekitar. Bila di lapangan Sebahagian besar siswa berasal dari tempat
yang jauh dari sekolah. Masih besar rasa ketidakpercayaan penggunaan fasilitas
sekolah oleh masyarakat sekitar. Masyarakat tidak melihat sekolah bagian dari
mereka. Maka dalam hal ini sekolah harus mampu Memberikan kesempatan
seluas-luasnya partisipasi orang tua siswa dan masyarakat sesuai dengan
kemampuan mereka.
Reformasi pendidikan memiliki bentuk konkret pada dimensi individu (guru dan siswa), dimensi sekolah, dimensi masyarakat atau makro. SEKOLAH MANDIRI salah satu bentuk konkret dari reformasi pendidikan pada dimensi sekolah. Yakni, suatu kebijakan yang menempatkan pengambilan keputusan pada mereka yang terlibat langsung pada proses pendidikan: Kepala Sekolah, guru, orang tua siswa dan masyarakat. Kebijakan ini akan membawa dampak tidak saja pada manajemen sekolah, tetapi juga pada implementasi kurikulum dan proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Sebab, tanpa ada perubahan pada proses belajar mengajar, apapun yang dilaksanakan di sekolah tidak akan banyak artinya. Perubahan tidak akan banyak artinya tanpa melibatkan aparat sekolah secara keseluruhan.
Reformasi pendidikan memiliki bentuk konkret pada dimensi individu (guru dan siswa), dimensi sekolah, dimensi masyarakat atau makro. SEKOLAH MANDIRI salah satu bentuk konkret dari reformasi pendidikan pada dimensi sekolah. Yakni, suatu kebijakan yang menempatkan pengambilan keputusan pada mereka yang terlibat langsung pada proses pendidikan: Kepala Sekolah, guru, orang tua siswa dan masyarakat. Kebijakan ini akan membawa dampak tidak saja pada manajemen sekolah, tetapi juga pada implementasi kurikulum dan proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Sebab, tanpa ada perubahan pada proses belajar mengajar, apapun yang dilaksanakan di sekolah tidak akan banyak artinya. Perubahan tidak akan banyak artinya tanpa melibatkan aparat sekolah secara keseluruhan.
Sekolah
mandiri tidak berarti tanpa kendali. Melainkan mandiri dalam konteks
sistem-pendidikan nasional. Sekolah memiliki kemandirian dalam melaksanakan
rekayasa untuk menjabarkan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara
nasional, tanpa meninggalkan latar belakang dan karakteristik kondisi lokal
setempat. Untuk itu sekolah mandiri memiliki kultur, kebiasaan dan cara kerja
baru yang berbeda dengan kebiasaan dan tata cara kerja sekolah dewasa ini.
Kultur, kebiasaan-kebiasaan dan tata cara kerja baru ini akan mempengaruhi
perilaku seluruh komponen sekolah: Kepala Sekolah, guru, pegawai administrasi
dan siswa. Bahkan, dalam jangka panjang, kebiasaan dan tata cara kerja baru ini
akan berpengaruh di kalangan orang tua siswa dan masyarakat. Kultur, kebiasaan,
dan tata cara kerja baru tersebut antara lain:
a) setiap
sekolah memiliki visi dan misi,
b)
sekolah memiliki program yang mendasarkan pada data kuantitatif,
c)
sekolah merupakan sistem organik,
d)
sekolah memiliki kepemimpinan mandiri,
e)
sekolah memiliki program pemberdayaan bagi seluruh komponen sekolah,
f)
sekolah merupakan kegiatan pelayanan jasa dengan tujuan utama memberikan
kepuasan maksimal bagi siswa, orang tua siswa dan masyarakat selaku konsumen,
dan, g) sekolah mengembangkan "Trust" (Kepercayaan) sebagai landasan
interaksi internal maupun eksternal seluruh warga sekotah.
Sekolah Mandiri tidak hanya
diartikan dengan membentuk suatu lembaga di sekolah dengan wewenang tertentu
seperti anggaran dan kurikulum. Dengan telah dibentuknya lembaga ini belum
tentu sekolah sudah memahami tanggung jawab dan peran yang baru dalam mengelola
sekolah, dan akan mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu sekolah.
Dengan singkat dikatakan, bahwa implementasi Sekolah Mandiri memerlukan suatu
bentuk kesadaran baru dalam menjalankan roda organisasi sekolah. Kepala sekolah
beserta guru harus memiliki otonomi dan otoritas yang memadai, dan instruksi
serta petunjuk dari kantor pendidikan harus dikurangi. Sejalan dengan itu,
berbagai sumber daya perlu disebarluaskan sampai pada dimensi sekolah. Seperti,
informasi prestasi siswa dan kepuasan orang tua siswa dan masyarakat, serta
sumber-sumber yang tersedia perlu disampaikan pada dimensi sekolah sehingga
sekolah memiliki pertimbangan yang jelas dalam menentukan kegiatan.
Sekolah harus megembangkan visi dan
misi sendiri. Visi suatu sekolah merupakan suatu pandangan atau keyakinan
bersama seluruh komponen sekolah akan keadaan masa depan yang diinginkan.
Keberadaan visi ini akan memberikan inspirasi dan mendorong seluruh warga
sekolah untuk bekerja lebih giat. Visi sekolah harus dinyatakan dalam kalimat
yang jelas, positif, realistis, menantang, mengundang partisipasi, dan
menunjukkan gambaran masa depan.
Misi
erat berkaitan dengan visi. Kalau visi merupakan pernyataan tentang gambaran
global masa depan, maka misi merupakan pernyataan formal tentang tujuan utama
yang akan direalisir. Jadi kalau visi merupakan ide, cita-cita dan gambaran di
masa depan yang tidak terlalu jauh, maka misi merupakan upaya untuk
konkritisasi visi dalam ujud tujuan dasar yang akan diujudkan.
Visi dan misi sekolah merupakan
penjabaran atau spesifikasi visi dan misi pendidikan nasional yang disesuaikan
dengan latar belakang dan kondisi lokal. Adalah sangat mungkin latar belakang
dan kondisi lokal dari sekelompok sekolah memiliki kemiripan, dan untuk ini
dimungkinkan untuk mengembangkan visi dan misi dari beberapa sekolah yang
berada dalam suatu cluster sekolah.
Visi dan misi sekolah ini akan terus
membayangi segenap warga sekolah: Kepala sekolah, guru, pegawai administrasi,
siswa dan orang tua siswa, dengan pertanyaan-pertanyaan: Mengapa kita di sini?
Apa yang harus kita perbuat atau kerjakan? Bagaimana kita melaksanakan? Bagi
kepala sekolah harus selalu ditantang dengan pertanyaan: Mengapa dan untuk opa
saya jadi kepala sekolah? Apa yang harus saya kerjakan sebagai kepala sekolah?
Bagaimana saya melakukan pekerjaan tersebut? Pertanyaan akan muncul bagi guru:
Mengapa dan untuk apa saya menjadi guru? Apa yang harus saya kerjakan sebagai
guru? Bagaimana saya melaksanakan pekerjaan tersebut? Pertayaan-pertanyaan
tersebut akan mendorong seluruh warga sekolah, sesuai dengan kapasitas dan
fungsi masing-masing bekerja keras berdasarkan misi guna mendekati visi
sekolah.
Suatu sekolah
merupakan gabungan dari berbagai, baik akademik maupun non-akademik, termasuk
bagaimana interaksi guru-siswa formal dalam proses belajar mengajar, interaksi antar guru,
interaksi guru dan pegawai administrasi dalam proses mengurus kenaikan pangkat
guru, interaksi antara siswa dan staf perpustakaan dalam proses bagaimana
tenaga perpustakaan melayani para siswa, interaksi antara guru dan kepala
sekolah dalam proses bagaimana kepala sekolah memimpin para guru, dan
sebagainya. Interaksi yang begitu banyak terjadi di sekolah tersebut,
memberikan signal bagi kita semua, bahwa program kerja sekolah memiliki suatu
sistem yang mampu mengkoordinasi dan mensinergikan dari seluruh interaksi yang
ada di sekolah.
Inti dari interaksi pendidikan adalah interaksi formal guru-siswa dalam proses
belajar mengajar yang merupakan interaksi dari berbagai komponen pendidikan:
guru, siswa dan bahan ajar serta peralatan. Dalam istilah yang singkat disebut
proses pembelajaran yang berasal dari kata 'learning'. Meskipun interaksi formal dalam
proses pembelajaran merupakan interaksi akademik, tetapi interaksi ini tidak
bisa diisolir dari interaksi kegiatan yang lain termasuk kegiatan non-akademik,
seperti interaksi dalam proses pengurusan kenaikan jenjang jabatan guru,
pelayanan perpustakaan, pelaksanaan apel bendera, atau kepemimpinan sekolah.
Oleh karena itu, sekolah mandiri merupakan kebutuhan dari seluruh interaksi
tersebut.
Sekolah jangan dipandang sebagai
suatu jaringan individu tetapi sebagai jaringan interaksi. Setiap interaksi
akan menghasilkan kekuatan atau energi yang berpengaruh terhadap sekolah:
negatif atau positif. Bentuk-bentuk dan bagaimana kualitas interaksi
berlangsung akan menentukan sifat dan besaran energi. Oleh karena itu, sekolah
mandiri harus memfokuskan pada interaksi ini di samping memfokuskan pada diri
individu warga sekolah. Sudah barang tentu fokus ini tidak dapat dipisahkan
secara absolut, melainkan secara simultan. Malahan dapat dikatakan bahwa
sekolah harus secara simultan memahami masing-masing individu dengan segala
karakteristiknya dan interaksi saling ketergantungan dari berbagai individu
tersebut. Kita tidak dapat memisahkan keduanya.
Tuntutan yang penting adalah sekolah
perlu mengidentifikasi keberadaan berbagai bentuk interaksi dengan masingmasing
karakteristik pokok yang menyertai. Misalnya, sekolah memiliki a) interaksi
formal dalam ujud proses belajar mengajar, b) interaksi guru informal, c)
interaksi guru formal dalam rapat, d) interaksi siswa dalam kelas, e) interaksi
siswa di luar kelas, dan sebagainya. Masing-masing interaksi tersebut masih
dapat diperinci. Interaksi belajar mengajar terdiri dari: a) interaksi guru
dalam menjelaskan materi, b) interaksi guru dalam mengajukan pertanyaan
terhadap siswa, c) interaksi guru dalam menanggapi jawaban siswa, dan
sebagainya.
Karakteristik masing-masing interaksi
tersebut akan menghasilkan energi yang bersifat positif atau negatif. Bersifat
positif apabila hasil interaksi akan menimbulkan seseorang bekerja lebih keras.
Sebaliknya, bersifat negatif apabila interaksi akan menyebabkan seseorang
menjadi malas, tertekan, dan menurun semangatnya. Dalam kalangan profesi
kedokteran, interaksi antar dokter menimbulkan energi positif untuk kemajuan
ilmu kedokteran, sebab apabila dokter ketemu dokter mereka bertukar pikiran
tentang bagaimana pengalaman mereka berkaitan dengan praktek pengobatan.
Demikian juga kalau insinyur ketemu insinyur yang dibicarakan adalah bagaimana
teknik pembangunan jalan layang baru yang lebih hemat dan canggih telah
diketernukan, sehingga interaksi ini menimbulkan energi yang positif. Tetapi
tengoklah, kalau guru berinteraksi dengan guru, jarang mereka membicarakan
pengalaman masing-masing dalam interaksi dengan siswa. Kalau interaksi guru
dengan guru dapat diubah dan di arahkan dalam interaksi mereka membicarakan
pengalaman mereka tentang proses belajar mengajar, maka interaksi ini akan
menimbulkan energi yang dahsyat yang akan membawa kemajuan pendidikan. Dalam
jangka 2-3 tahun, jika dalam setiap interaksinya guru membiasakan berdiskusi
dengan sesama guru, maka dunia pendidikan akan mengalami perubahan besar.
Dalam sekolah mandiri yang memiliki
sifat sistem organik, kepala sekolah di samping menaruh perhatian terhadap
warga sekolah sebagai individu atau kelompok, ia juga harus memahami dan
menaruh perhatian terhadap proses interaksi ini. Energi yang dihasilkan oleh
interaksi tersebut harus dicermati dan merupakan sesuatu yang akan diorganisir.
Kepala sekolah berperan untuk memfokuskan, mendorong, mengembangkan dan
mengorganisir serta mengelola energi tersebut
untuk di
arahkan guna kemajuan sekolah. Untuk itu sekolah dan seluruh warganya harus
bersifat adaptif.
Sekolah Mandiri merupakan
implementasi dari desentralisasi pendidikan. Untuk mendukung pelaksanaannya, pada
Sekolah Mandiri perlu dikembangkan Dekonsentrasi pengambilan keputusan yang
memerlukan restrukturisasi organisasi pendidikan.
Organisasi pendidikan bersifat
sentralistis. Kebijakan pendidikan secara umum dan politis ditetapkan oleh
Departemen Pendidikan. Keputusan politis ini harus dijabarkan oleh direktorat
jenderal yang relevan. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan pendidikan dasar dan menengah.
Kebijakan Dirjen ini akan dioperasionalkan ke dalam kebijakan teknis oleh
direktorat yang relevan. Kemudian Kantor Wilayah dan Kantor Daerah Pendidikan
dan Kebudayaan akan melakukan koordinasi implementasi kebijakan teknis
tersebut.
Implementasi Sekolah Mandiri
memerlukan restrukturisasi organisasi dengan menempatkan pembuatan kebijakan
teknis pada Kantor Daerah Pendidikan. Organisasi Direktorat dan Kantor Wilayah
Pendidikan perlu dihapuskan. Sebab, kebijakan teknis yang diperlukan adalah
yang sesuai dengan tuntutan dan kondisi lokal. Dengan demikian Kantor Daerah
akan memiliki fungsi mewakili Departemen dalam pengambilan keputusan untuk
daerahnya masing-masing.
Reformasi pendidikan merupakan suatu
keharusan. Sebab, cara-cara yang selama ini dilaksanakan dalam pengelolaan
pendidikan tidak akan dapat memecahkan persoalan-persoalan yang muncul dewasa
ini. Krisis moneter dan ekonomi yang diikuti oleh krisis politik, kepercayaan
dan keamanan, mempercepat keharusan reformasi pendidikan.
Reformasi pendidikan yang diperlukan
bersifat menyeluruh dan mendasar, menyangkut dimensi kultural-fokasional,
politik-kebijakan, teknis-operasional, dan, dimensi kontekstual. Tambal sulam
dalam dunia pendidikan saat ini harus dihindarkan, sebab hanya akan berakibat
menunda datangnya bencana yang lebih parah lagi.
Betapapun
Reformasi merupakan suatu keharusan, tetap saja akan muncul resistensi yang
menghambat jalannya reformasi. Oleh karena itu, reformasi pendidikan perlu
untuk:
1.
Mendapatkan dukungan dari kalangan profesional dengan: a) memberikan
pelayanan yang lebih baik, b) menciptakan iklim yang kondusif untuk
mengembangkan kerjasama profesional, dan c) meningkatkan kesejahteraan mereka.
2. Mengembangkan kesadaran di kalangan
profesional dan kesempatan bagi orang tua untuk berpartisipasi dalam kegiatan
sekolah sehingga merasa ikut memiliki.
3. Mengurangi beban administrasi
atau non-profesional guru dengan lebih menekankan pada aspek teknis
profesional.
Di samping itu, selain tambal sulam,
reformasi pendidikan juga harus menghindari upaya pencapaian hasil jangka
pendek atau semu dengan mengorbankan pencapaian hasil jangka panjang. Hal ini dapat terjadi, misalnya,
apabila reformasi hanya menekankan pada aktivitas yang memfokuskan pada
perilaku baru guru dalam mengajar, bagaimana guru menguasai materi baru,
memahami makna hakiki dari reformasi pendidikan yakni membantu peserta didik
mengembangkan peran dirinya yang baru.
LNKS FROM ME
LINKS FROM ME (2)
GESKRIPSI
Powered by Blogger.
LOKAL TIME
Labels
Labels
- BAHAN AJAR (25)
- DOKUMEN KURIKULUM 2013 (9)
- INSTRUMEN PENILAIAN (34)
- K 2013 UPDATE 2016 (3)
- KURIKULU2013 (46)
- MEDIA (6)
- PEDAGOGI (2)
- PERANGKAT PEMBELAJARAN (3)
- permendikbud2013 (2)
- POETRY READING (1)
- REFERENCE (20)
- STANDAR PENILAIAN (5)
Archive
Popular Posts
- TEKS I(Kegiatan 1 Pemodelan Teks Laporan Hasil Observasi)
- CONTOH RPP KELAS X BAHASA INDONESIA YANG BERBASIS TEKS
- PEDOMAN KEGIATAN PENDAMPINGAN IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013
- TEKS III (Kegiatan 2 Kerja Sama Membangun Teks Eksposisi)
- Gemar Meneroka Alam Semesta
- TEKS II(Kegiatan 1 Pemodelan Teks Prosedur Kompleks)
- TEKS I (Kegiatan 2 Kerja Sama Membangun Teks Laporan Hasil Observasi )
- TEKS II (Kegiatan 3 Kerja Mandiri Membangun Teks Prosedur Kompleks)
- TEKS VI (Kegiatan 3 Kerja Mandiri Membangun Berbagai Jenis Teks Dalam Satu Tema)